Sebelumnya, artikel ini pernah terbit di Kompasiana hehe, yang mau baca di Kompasiana bisa klik di sini
Waktu saya sekolah dasar dulu, rasanya sangat beruntung
mempunyai nama dengan satu kata. Ujian terasa lebih cepat. Ujian dengan Lembar
Jawaban Komputer (LJK) yang mengharuskan siswa membulatkan beberapa data diri
sekaligus jawabannya dengan pensil 2B. Membulatkan huruf demi huruf satu
persatu, tidak boleh keluar garis. Saya termasuk orang yang sangat teliti, dan
merasa sangat beruntung saat itu karena nama yang singkat. Mengerjakan soal
bisa lebih cepat dan tangan jadi tidak pegal.
Namun itu dulu, seiring berjalannya waktu dan teknologi,
rasanya lebih sulit mempunyai nama hanya satu kata. Nurhikmah. Tidak ada embel
embel apa pun di belakangnya. Lazimnya, nama Nurhikmah ditulis dengan terpisah,
‘Nur’ dan ‘Hikmah’. Tapi sepertinya tidak berlaku di diri saya.
“Siapa namanya, Mbak?”
“Nurhikmah, gak pake spasi”
Begitu kira kira jawaban saya waktu ditanyakan nama untuk
data yang cukup penting. Tidak masalah mungkin jika hanya mengisi nama untuk
antrian sembako. Tapi untuk pembuatan rekening atau data diri di kelurahan,
rasanya harus sesuai penulisannya dengan di akta kelahiran dan KTP. Banyak
orang yang salah kira, sering kali mereka menuliskan nama saya dengan terpisah.
Untuk itu, agar cepat langsung saya tembak saja “tidak pakai spasi”.
Foto oleh karlyukav dari Freepik |
Saat saya Ujian Akhir Semester di Sekolah Menengah Kejuruan,
kebetulan CBT (menggunakan komputer). Mengharuskan siswanya mengisi data dengan
nama depan dan belakang, wajib diisi (required).
Alhasil setelah bertanya pada guru saya, nama saya jadi didouble Nurhikmah
Nurhikmah. Aneh sekali memang, saat ujian saja saya masih bingung dengan
pengisian nama.
Membuat akun sosial media, seperti di LinkedIn yang
mengharuskan nama depan dan belakang terisi, membuat saya juga kebingungan.
Tentunya saya ingin mengisi nama sesuai KTP di aplikasi LinkedIn yang
notabenenya adalah aplikasi untuk portofolio seseorang. Setelah berpikir dan
dari beberapa referensi yang saya lihat, akhirnya saya menuliskan tanda – pada
nama belakang. Yup, jadi Nurhikmah - .
Lebih parahnya saat pembuatan paspor. Beberapa orang yang
namanya dengan satu kata, membagikan pengalamannya tentang perjalanan mereka ke
luar negeri. Bukan, bukan betapa asyiknya mereka di sana. Tapi betapa sulitnya
pembuatan paspor dan visa mereka. Mereka diharuskan mempunyai nama belakang
untuk pengisian datanya. Setelah saya berselancar mencari kebenaran di Mbah
Google, benar saja nama dengan satu kata akan mempersulit pembuatan visa. Diharuskan
mengisi nama first name (nama awal)
dan family name (nama keluarga/nama
belakang). Di luar negeri sana, mereka memang memakai lebih dari satu kata
untuk pemberian nama. Nama belakang adalah nama keluarga. Di Indonesia sendiri,
biasanya kita mengenal dengan sebutan binti atau bin. Tapi tidak dipakaikan
secara resmi di nama seseorang. Ada juga yang menggunakan nama marga di
belakang namanya. Pembuatan visa yang dipersulit inilah, membuat orang dengan
nama satu kata, harus menjelaskan dengan panjang lebar mengapa namanya hanya
satu kata. Jika salah-salah, maka pengurusannya akan lebih lama dan panjang.
Namun nama tinggallah nama. Di Indonesia, nama merupakan
doa. Doa dan harapan dari orang tua yang memberikannya. Tentu kedua orang tua
saya mempunyai harapan dan inspirasi tersendiri memberikan nama Nurhikmah
kepada saya. Setelah diselidiki, sempat saya bertanya pada orang tua, mengapa
nama saya hanya satu kata. Ternyata sebenarnya mereka ingin memberikan nama
saya dengan dua kata (terpisah). Namun orang tua saya tidak menyadari keliruan
pencatatan sipil di akta kelahiran. Beranjak SD dan SMP, masih aman dan tidak
ada kendala. Memasuki SMK dan semakin kesini, saya rasa nama dengan satu kata
akan mempersulit banyak hal. Orang tua saya yang namanya juga hanya dengan satu
kata, memberikan alasan kurang masuk akal agar saya tidak merasa kesal dengan
nama satu kata ini. Dengan memberikan pepatah orang dulu “nama yang panjang,
akan membuat seseorang bertubuh pendek. Sebaliknya jika diberi nama yang
singkat, maka anak akan bertumbuh tinggi.” Saya yang dulu diberi pepatah ini,
iya-iya saja karena masih bocah. Karena tubuh saya yang lumayan tinggi, jadi saya
percaya pepatah itu. Namun sekarang, saya tahu itu hanya mitos zaman dulu.
Ada lagi, di Jawa sendiri terkenal dengan sebutan kabotan jeneng (keberatan nama). Keberatan
nama yang disebutkan biasanya terjadi jika orang yang menyandang nama tersebut
sering sakit-sakitan, tak kunjung sembuh, dan sering tertimpa sial. Makna nama
yang terlalu muluk-muluk atau tinggi sehingga orang tersebut tidak kuat untuk
menyandangnya. Jika sudah demikian, maka tradisi pergantian nama akan dilakukan.
Mau dikata apa lagi, diumur saya yang sedikit lagi beranjak
20, sudah sangat sulit mengubah nama. Bukannya mustahil memang, tapi pasti
perlu waktu dan biaya yang besar. Mengubah KTP, akta kelahiran, kartu keluarga,
ijazah. Apa lagi tradisi di Indonesia, jika merubah nama maka harus membuat
syukuran atau semacam selametan dengan mengundang para tetangga dan membuat
nasi kuning, bubur merah maupun bubur putih. Dengan dibacakannya doa doa
sekaligus diumumkan namanya yang baru pada acara upacara tersebut. Duh, saya
tidak bisa membayangkan bagaimana ribetnya. Selama bisa nama saya hanya dengan
satu kata, saya tetap mensyukurinya.
Bagaimana pendapat dan keluh kesahmu yang mempunyai nama
hanya dengan satu kata? Jika orang dulu sah sah saja, tapi semakin berkembangnya
zaman, lebih baik memberi nama anak lebih dari satu kata, ya.
0 komentar: